Perkembangan ekonomi pada globalisasai saat ini sangatlah pesat. Informasi perekonomian mudah diakses dan dapat diketahui banyak orang tentang semua hal yang bersifat umum. Setiap negara menggunakan tingkat ekonomi sebagai tolak ukur suatu keberhasilan di suatu negara. Perkembangan ekonomi ini tentunya tidak terlepas dari peran perusahaan yang melakukan pembangunan ekonomi di setiap negara. Oleh sebab itu, perusahaan diwajibkan mampu menyajikan laporan keuangan dengan standar akuntansi yang berlaku dan dilengkapi dengan transparansi, terlebih pada perusahaan berskala besar. Hal ini dikarenakan laporan keuangan mencakup informasi yang dapat menggambarkan keadaan perusahaan dan berfungsi sebagai dasar dalam pengambilan keputusan baik untuk pihak investor (eksternal) maupun manajemen (internal).
Pada Desember 2019, dunia investasi di Indonesia dikejutkan oleh pengumuman yang dilakukan Direktur Utama PT Asuransi Jiwasraya yang menyatakan ketidakmampuan membayar klaim polis nasabah sebesar Rp 12,4 triliun. Di bulan Januari 2020, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkap kerugian yang diderita Jiwasraya dari perdagangan saham sebesar Rp 6,4 triliun. Hal ini yang diduga menjadi penyebab kegagalan PT Asuransi Jiwasraya dalam membayar klaim nasabah. Penyebab kegagalan membayar ini adalah adanya salah satu produk Jiwasraya yakni JS saving Plan. Produk ini diluncurkan pada tahun 2015. Produk ini menjanjikan tingkat imbal hasil yang tinggi, bahkan lebih tinggi dari tingkat bunga deposito yang berlaku saat itu, namun dana yang diperoleh dari produk ini diinvestasikan pada instrumen saham dan reksadana yang berkualitas rendah.
Penyebab kerugian AJS antara lain bersumber dari pertimbangan bisnis di mana AJS menempatkan dananya pada saham-saham yang memiliki volatility cukup tinggi di mana ternyata di kemudian hari harganya jatuh. Terkait dengan pertimbangan bisnis tersebut terdapat beberapa hal yang menjadi concern yakni adanya pelanggaran etika bisnis sebagai berikut:
- Investasi saham dalam jumlah besar yang bersumber dari premi para pemegang polis pada saham-saham berkualitas rendah. Seharusnya dalam mengelola dana nasabah dituntut kejujuran, kehati-hatian, transparansi dan tanggung jawab moral.
- Pemberian harapan semu kepada pada pemegang polis melalui janji memberikan tingkat imbal hasil dengan nilai di atas nilai imbal hasil investasi lain seperti deposito.
- Adanya informasi yang tidak diungkapkan kepada para pemegang polis terkait mengapa klaim pemegang polis atas produk asuransi AJS tidak dapat dicairkan.
Pertimbangan tersebut tidak terlepas dari perilaku manajemen dalam penetapan kebijakan, pengambilan keputusan dan operasional perusahaan yang diduga dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor pertama adanya tekanan yang bersumber dari kondisi keuangan perusahaan yang buruk dan kewajiban untuk memenuhi mandat pemegang saham untuk menghasilkan deviden. Faktor kedua adalah self interest, agar terlihat berprestasi dengan menyelesaikan permasalahan keuangan secara cepat melalui jalan pintas, agar masa jabatan dapat diperpanjang dan juga kesempatan untuk menerima bonus yang lebih besar. Kedua faktor tersebut menyebabkan manajemen yang seharusnya berpikir secara rasional dan bertanggung jawab, menjadi tidak rasional. Mengutip teori behavioral economic, dalam kasus JWS terbatasnya rasionalitas manajemen yang mendorong terjadinya systemic thinking error yang ditunjukkan antara lain melalui perilaku cognitive bias.
Disusun oleh : Amin Nur Azizah, Leha Fitriyani, M. Farrel Attaillah, Siti Faoziah, Zahra Arelya Sari. Mahasiswa Sarjana Akuntansi Universitas Pamulang.