Penulis | : | Wangi Ramadhana |
Instansi | : | Universitas Pamulang |
Belakangan ini viral di media sosial kasus dugaan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap seorang istri yang sedang hamil enam bulan. Kasus tersebut mencuat karena korban melarikan diri dari rumah tanpa membawa apa pun dalam kondisi hamil. Namun ketika kasus sudah sampai kepada pihak kepolisian, korban justru ingin mencabut laporan KDRT dengan alasan masih mencintai pelaku. Hal tersebut cukup membuat geram warganet.
Dikutip dari data yang diperoleh Sartika dan Amalia (2014) tercatat bahwa pada 2014 terdapat 73,3% istri yang mengalami KDRT lebih memilih opsi mempertahankan rumah tangganya dan memberikan maaf kepada suaminya. Ditinjau dari data yang dipaparkan dapat kita ketahui bahwa kasus yang hampir sama pun sudah terjadi dari tahun-tahun sebelumnya. Hal ini membuat kita bertanya – tanya, apa alasan korban tetap bertahan?
Siklus KDRT
Dalam teori psikologi yang digagaskan oleh psikolog terkenal di Amerika, Lenore E. Walker (1979), kekerasan dalam rumah tangga memiliki empat fase (Puspita Dewi & Hartini, 2017). Fase pertama, ketegangan situasi di antara pasangan. Menurut Saraswati (2006), dalam fase pertama kekerasan kecil mulai terjadi (Puspita Dewi & Hartini, 2017). Kemudian, diikuti kekerasan yang semakin parah seperti memaki, memukul, menampar, bahkan menyerang dengan senjata di fase kedua.
Berbeda dengan fase pertama dan kedua, di fase ketiga pelaku mulai meminta maaf atas kekerasan yang dia lakukan namun sering kali tetap menyalahkan korban atas apa yang sudah terjadi. Pelaku juga menyesali perbuatannya dan menunjukkan sikap yang baik terhadap korban. Fase terakhirlah yang sering membuat korban dilema dan memutuskan untuk tetap bertahan dalam rumah tangganya karena berharap pelaku akan berubah menjadi lebih baik. Fase ini dikenal sebagai fase honeymoon.
Dalam teori psikologi tersebut juga dipaparkan bahwa siklus kekerasan akan terus berulang dengan fase yang sama meskipun pelaku sudah menyesali dan meminta maaf pada korban. Tanpa disadari siklus kekerasan yang dirasakan korban bagaikan lingkaran setan yang tidak memiliki ujung.
Memilih Diam
Korban yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga kerap tetap memilih diam karena takut orang-orang yang ia sayangi akan menjadi sasaran kekerasan pelaku. Alasan lainnya, korban merasa malu dan kebingungan dalam menghadapi situasi tersebut sehingga membuatnya menghindar dari orang lain. Ditambah, mayoritas pelaku akan membatasi ruang lingkup sosial korban dengan mengendalikan aktivitasnya. Lebih parahnya pelaku dengan sengaja bersikap kasar kepada keluarga atau teman-teman korban.
Perasaan Tidak Berdaya
Hotifah (2011) memberikan anggapan bahwa semakin lama seseorang berada dalam situasi kekerasan, maka waktu yang dibutuhkan untuk pulih dari perasaan tidak berdayanya akan semakin lama. Sebab, ia melihat pasangannya sebagai orang yang memiliki kekuatan dan kekuasaan. Korban yang mengalami kekerasan pun pernah melakukan upaya untuk lepas dari pelaku baik itu mengendalikan situasi sebisa mereka sampai ke melarikan diri dari situasi tersebut.
Namun, kebanyakan dari upaya tersebut berujung sia-sia yang kemudian menyebabkan munculnya perasaan tidak berdaya dan keyakinan bahwa tidak ada jalan keluar untuk menyelesaikan situasi yang ia alami. Kejadian ini disebut oleh Walker (1979) sebagai learned helplessness.
Harga Diri Rendah
Kekerasan yang diiringi makian lambat laun membuat citra harga diri korban semakin memburuk karena pada akhirnya ia mempercayai makian buruk dari pelaku atas dirinya. Ditambah dengan upaya – upaya korban yang gagal keluar dari siklus kekerasan semakin merendahkan harga dirinya. Akhirnya, ia hanya pasrah atas kekerasan yang dialami dan menerimanya dengan lapang dada walaupun jiwa dan raganya hancur.
Alasan – alasan psikologis yang di atas hanya beberapa dari banyak alasan lainnya yang melatarbelakangi keputusan korban KDRT. Tetapi, kita dapat mengetahui bahwa korban KDRT sering tidak mampu meminta pertolongan sendiri karena keterbatasan yang mereka rasakan dan alami. Hal tersebut menjadi tanggung jawab kita sebagai individu untuk memberikan dukungan dan bantuan jika terjadi kasus serupa di lingkungan terdekat kita
Di dunia yang seringkali penuh dengan rintangan dan kesulitan, peran kita dalam memberikan arahan dan bantuan kepada mereka yang terjebak dalam lingkaran kekerasan dapat menjadi pencerahan yang mengubah hidup mereka secara mendalam. Saat kita bersedia mendengarkan, memberikan dukungan, dan menunjukkan bahwa mereka tidak sendirian, kita dapat menjadi pilar kekuatan yang memberi dorongan untuk keluar dari situasi yang sulit