Penulis | : | Habiiba Lavenia Qalammulloh |
Instansi | : | Universitas Pamulang |
Tangerang – Perlu kita ketahui, saat ini terjadi pemboikotan terhadap produk-produk yang memiliki afiliasi dengan Israel (Pro-Israel). Masyarakat menyebutnya sebagai “Gerakan Boikot sebagai Jihad yang Sah”. Gerakan memboikot dianggap sebagai bentuk dukungan konkret terhadap korban di Palestina dan sebagai upaya untuk mencegah perusahaan-perusahaan agar menghentikan tindakan genosida terhadap Palestina. Pemboikotan ini telah berlangsung sejak tahun 1949 dengan tujuan menghentikan perluasan wilayah Israel, dan terus berlanjut sejak tahun 1987 hingga saat ini.
Pemboikotan memiliki dampak buruk terhadap perusahaan, yang dapat memaksa pengusaha untuk melakukan pengurangan tenaga kerja atau pemutusan hubungan kerja (PHK) karena menurunnya permintaan. Beberapa pengusaha mengharapkan pemerintah mencari solusi agar perusahaan yang terafiliasi dengan Israel (Pro-Israel) dapat pulih. Beberapa perusahaan terkenal seperti kedai kopi Starbucks, restoran cepat saji McDonald’s, dan Unilever, masuk dalam daftar boikot yang tersebar di media sosial, termasuk di Indonesia.
Sebagai contoh, kita dapat melihat data saham PT Unilever Indonesia (Unilever) dan PT MAP Boga Adiperkasa Tbk (Starbucks): Menurut data RTI Business, saham Unilever mengalami penurunan sebesar 1,13% menjadi Rp. 3.490 pada tanggal 14 November 2023. Hari ini, terjadi kenaikan sebesar 0,25% menjadi Rp. 3.779 pada tanggal 2 Desember 2023. Sementara itu, saham Starbucks mengalami penurunan sebesar 2,76% menjadi Rp. 1.935 pada tanggal 14 November 2023. Hari ini, terjadi kenaikan sebesar 1,57% menjadi Rp. 1.945 pada tanggal 2 Desember 2023.
Dari data tersebut, dapat disimpulkan bahwa perubahan harga saham dipengaruhi oleh dinamika penawaran dan permintaan (Teori Ekonomi). Meskipun beberapa perusahaan terkena dampak pemboikotan, mereka masih mampu pulih karena konsumen masih bergantung pada produk-produk tersebut.
Kesimpulannya, pemboikotan terhadap perusahaan tidak menjamin bahwa perusahaan tersebut akan mengalami penurunan secara sementara atau penurunan yang mutlak. Hal ini sangat bergantung pada keputusan konsumen dan fokus perusahaan terhadap kebutuhan konsumen saat ini. Perusahaan akan terus merespons keluhan konsumen, memperbaiki kelemahan mereka, dan berupaya menarik kembali konsumen secara bertahap.