
Penulis:
Maulana Iman Jaya, Mahasisswa Program Studi Magister Manajemen Pendidikan.
Dosen Pengampu, Dr. Herdi Wisman Jaya, S.Pd.,M.H
Di tengah derasnya arus globalisasi dan modernisasi, perencanaan pendidikan Indonesia sering kali berada di persimpangan: antara mengejar standar global dan menjaga akar budaya lokal. Dalam situasi ini, kita seakan dihadapkan pada dua pilihan sulit, yaitu menjadi modern tapi kehilangan jati diri, atau mempertahankan tradisi tapi tertinggal zaman. Padahal, sebagaimana diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara, pendidikan sejati tidak memilih salah satu, melainkan menyulam keduanya menjadi satu kesatuan yang hidup dan bermakna.
Bagi Ki Hajar Dewantara, pendidikan bukan sekadar alat negara untuk mencetak tenaga kerja, melainkan sarana untuk menuntun segala kekuatan kodrat anak agar mereka menjadi manusia merdeka dan bertanggung jawab terhadap masyarakatnya. Prinsip ini menegaskan bahwa pendidikan harus berpijak pada kodrat alam (lingkungan dan budaya lokal) serta kodrat zaman (tuntutan perubahan dan kemajuan). Artinya, perencanaan pendidikan tidak boleh hanya berbicara tentang angka dan target nasional, tetapi juga harus menyentuh denyut nadi kehidupan masyarakat di setiap daerah.
Sayangnya, banyak rencana pendidikan yang masih bersifat seragam dan top-down. Sekolah di pesisir diperlakukan sama dengan sekolah di pegunungan; murid di kota besar dituntut dengan standar yang sama seperti di daerah terpencil. Akibatnya, pendidikan kehilangan relevansinya. Di sinilah pentingnya kembali ke filosofi Tut Wuri Handayani, yaitu memberi ruang dan dorongan agar daerah, guru, serta masyarakat bisa berkreasi sesuai konteksnya. Pemerintah pusat cukup menjadi penuntun arah, bukan pengendali tunggal.
Kearifan lokal sesungguhnya bukan penghalang kemajuan, tetapi sumber kekuatan karakter bangsa. Ketika sekolah di Bali menanamkan nilai Tri Hita Karana, atau sekolah di Jawa membiasakan gotong royong, sesungguhnya mereka sedang menanamkan nilai-nilai universal kemanusiaan dalam bingkai budaya sendiri. Di sinilah konsep Trikon dari Ki Hajar Dewantara menemukan relevansinya. Kontinu mengandung makna bahwa pendidikan harus berkesinambungan dengan akar budaya lokal; Konsentris menyelaraskan bahwa pendidikan hendaknya berpusat pada kebudayaan nasional sendiri; selanjutnya Konvergen yang menyebut bahwa pendidikan terbuka terhadap pengaruh luar yang memperkaya, bukan menghapus jati diri.
Perencanaan pendidikan masa depan seharusnya menjadi ruang dialog antara visi besar bangsa dan potensi lokal. Pemerintah dan masyarakat perlu duduk bersama merancang arah pendidikan yang tidak hanya mengejar capaian akademik, tetapi juga menumbuhkan karakter, kemandirian, dan kebijaksanaan lokal. Dengan cara inilah pendidikan dapat melahirkan manusia Indonesia yang tidak tercerabut dari akar budayanya, namun tetap mampu bersaing dan berkontribusi di dunia global.
Sebagaimana pesan abadi Ki Hajar Dewantara, “Setiap manusia adalah guru, setiap tempat adalah sekolah, dan setiap waktu adalah kesempatan belajar.” Maka, perencanaan pendidikan yang berjiwa lokal dan berpandangan global bukan sekadar impian, melainkan jalan menuju kemerdekaan belajar yang sesungguhnya, yaitu berpikir global, berjiwa lokal, dan berlandaskan nilai kemanusiaan.
