Oleh: Arsyad Alqodri (Mahasiswa Sistem Informasi Universitas Pamulang)
Korupsi sering kali kita anggap sebagai masalah besar yang hanya terjadi di level pemerintahan atau lembaga tinggi negara. Padahal, bibit-bibit korupsi kerap tumbuh di ruang-ruang kecil yang tidak disadari termasuk di dalam ruang kuliah kita sendiri. Ketika mahasiswa terbiasa mencontek, ketika dosen memungut biaya tambahan tak resmi, atau ketika organisasi kampus tidak transparan dalam anggaran, saat itulah kita sedang membangun sistem korup sendiri dalam skala mikro. Jika hal ini terus dibiarkan, maka tidak heran jika korupsi menjadi budaya di tingkat nasional.
Korupsi Tidak Dimulai dari Uang Miliaran
Masyarakat sering memahami korupsi sebagai tindakan besar dengan kerugian fantastis. Namun kenyataannya, korupsi dimulai dari hal-hal kecil: manipulasi presensi, mark-up laporan kegiatan, hingga “titip absen” yang dianggap sepele. Saat kita membenarkan praktik kecil seperti itu, kita sedang melatih diri untuk menjadi pelaku korupsi di masa depan, hanya dengan skala yang lebih besar. Sikap permisif dan ketidaktegasan terhadap ketidakjujuran di lingkungan akademik adalah masalah serius yang harus diatasi.
Lingkungan Akademik Belum Bebas dari Praktik Tak Etis
Tak bisa dimungkiri, masih banyak praktik di kampus yang mencederai nilai integritas. Contohnya, proposal kegiatan organisasi mahasiswa yang dimanipulasi agar dana lebih besar bisa dicairkan, atau pemilihan ketua organisasi yang penuh dengan praktik “politik uang”. Bahkan dalam lingkup akademik, beberapa dosen atau staf kadang memberikan layanan istimewa kepada mahasiswa tertentu karena kedekatan personal. Ini semua adalah bentuk korupsi dalam bentuk yang lebih tersembunyi, namun dampaknya sangat merusak.
Mahasiswa Harus Sadar dan Melawan
Sebagai agen perubahan, mahasiswa harus sadar akan praktik-praktik kecil yang mengarah pada korupsi. Tidak cukup hanya mengkritik pemerintah, jika di ruang kelas sendiri kita masih mendiamkan kecurangan. Mulai dari tidak menyontek, menolak laporan fiktif, hingga menuntut transparansi dana organisasi adalah langkah konkret untuk melawan korupsi dalam skala mikro. Perubahan besar dimulai dari perubahan kecil—dan dari lingkungan terdekat.
Teknologi sebagai Alat Kontrol
Sebagai mahasiswa Sistem Informasi, saya percaya teknologi bisa menjadi alat bantu untuk menciptakan budaya transparan di kampus. Aplikasi presensi berbasis biometrik, sistem pengajuan dana berbasis digital yang terbuka untuk diaudit, hingga platform pelaporan pelanggaran etik bisa menjadi solusi nyata untuk mencegah praktik korupsi skala mikro. Namun, teknologi hanya akan bermanfaat jika ditopang oleh kesadaran moral dan integritas dari penggunanya.
Korupsi bukan hanya milik para pejabat, tapi bisa terjadi di manapun, bahkan di ruang kuliah. Jika mahasiswa tidak peka terhadap praktik-praktik kecil yang tidak jujur, maka kita sedang membentuk generasi yang siap melakukan korupsi dalam skala lebih besar. Sudah saatnya kita berani berkata “Tidak” pada segala bentuk ketidakjujuran, mulai dari yang paling kecil.
Mari mulai dari diri sendiri, dari ruang kuliah, dan dari kebiasaan-kebiasaan yang tampak sepele. Karena kalau bukan kita yang mengubahnya, siapa lagi?
