Penulis : Arsil mujayanah
Pendahuluan
Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) telah menciptakan gelombang transformasi besar dalam berbagai bidang, termasuk dunia pendidikan dan teknologi informasi. Salah satu perubahan paling terasa saat ini adalah kemudahan dalam proses belajar dan pengembangan perangkat lunak. Mahasiswa jurusan Teknologi Informasi (TI) kini tidak lagi hanya mengandalkan buku, dokumentasi teknis, atau forum daring untuk memahami materi dan menyelesaikan proyek. Dengan hadirnya berbagai platform berbasis AI seperti GitHub Copilot, ChatGPT, Codeium, hingga Notion AI, proses belajar dan ngoding menjadi jauh lebih cepat dan instan.
Fenomena ini memunculkan dua sisi yang saling berseberangan. Di satu sisi, AI hadir sebagai inovasi cerdas yang mampu mempercepat proses belajar, membantu menyusun logika program, hingga memberikan alternatif solusi dari permasalahan pemrograman yang kompleks. Hal ini tentu menjadi angin segar, terutama bagi mahasiswa yang baru belajar coding atau sedang menyelesaikan tugas dalam waktu terbatas. Namun, di sisi lain, kemudahan yang ditawarkan AI juga menimbulkan kekhawatiran: apakah mahasiswa akan menjadi terlalu bergantung? Apakah kemampuan berpikir kritis dan pemahaman mendalam akan tergeser oleh kenyamanan solusi instan?
AI sebagai “Asisten Digital”
Di tengah perkembangan teknologi yang pesat, AI telah menjelma menjadi semacam asisten digital bagi para mahasiswa dan praktisi teknologi informasi. Salah satu dampak paling nyata terlihat dalam proses penulisan kode program. Jika sebelumnya mahasiswa harus membuka dokumentasi panjang, mencari solusi di forum seperti Stack Overflow, atau berdiskusi dengan teman sejawat untuk memahami fungsi tertentu, kini semua itu dapat dilakukan dalam hitungan detik melalui bantuan AI.
Platform seperti GitHub Copilot dan ChatGPT mampu membantu menyusun struktur program dengan lebih cepat berdasarkan instruksi sederhana. Mahasiswa cukup mengetikkan kebutuhan aplikasi secara ringkas, dan AI akan menghasilkan kerangka kode yang bisa langsung dikembangkan lebih lanjut. Tak hanya itu, ketika pengguna mengalami kebingungan terhadap fungsi atau sintaks tertentu, AI juga bisa memberikan penjelasan yang praktis dan mudah dipahami, bahkan dengan contoh implementasi yang relevan.
AI juga mempermudah dalam penyusunan proyek baru. Mahasiswa bisa meminta AI untuk membuat template aplikasi—misalnya aplikasi kasir sederhana, sistem login, atau tampilan antarmuka responsif—yang sesuai dengan kebutuhan pengguna. Selain itu, ketika terjadi kesalahan dalam kode, AI mampu mendeteksi bagian yang bermasalah dan bahkan mengusulkan perbaikannya. Fitur ini sangat membantu dalam proses debugging, terutama bagi mahasiswa yang belum terbiasa membaca pesan error yang kompleks.
Melalui kemudahan-kemudahan tersebut, AI tidak hanya mempercepat pekerjaan, tetapi juga membuka akses belajar mandiri yang lebih interaktif. Namun tentu saja, semua ini akan bermanfaat secara maksimal hanya jika disertai dengan pemahaman dasar yang kuat dari penggunanya.
Risiko dan Tantangan Etis
Meski kehadiran AI membawa kemudahan dalam proses belajar dan pengembangan perangkat lunak, penggunaannya juga memunculkan sejumlah risiko yang tidak bisa diabaikan, terutama di lingkungan akademik. Salah satu kekhawatiran utama adalah potensi menurunnya pemahaman logika dasar pemrograman. Ketika mahasiswa terlalu mengandalkan AI untuk menyusun kode, mereka bisa terjebak dalam kebiasaan menyalin dan menempel (copy-paste) tanpa benar-benar memahami apa yang sedang mereka tulis.
Hal ini tentu berdampak buruk dalam jangka panjang, karena fondasi logika dan pemikiran algoritmik yang seharusnya dibangun melalui latihan justru dilewatkan begitu saja. Akibatnya, ketika dihadapkan pada kasus yang tidak bisa diselesaikan oleh AI, mahasiswa mungkin akan kesulitan untuk berpikir mandiri dan mencari solusi secara logis.
Selain itu, penggunaan AI secara tidak bijak juga dapat menimbulkan masalah etika, terutama dalam konteks akademik. Misalnya, menyelesaikan tugas kuliah dengan bantuan AI tanpa deklarasi yang jelas bisa tergolong sebagai plagiarisme, meskipun secara teknis bukan hasil menyalin dari karya orang lain. Perlu ada kesadaran bahwa tugas akademik bukan semata-mata untuk mendapatkan nilai, tetapi sebagai sarana pembentukan kemampuan berpikir dan belajar secara mandiri.
Dari sisi kualitas, kode yang dihasilkan AI juga tidak selalu optimal. Ada kalanya solusi yang diberikan tampak benar, namun kurang efisien, tidak mengikuti best practice, atau bahkan mengandung potensi celah keamanan. Oleh karena itu, ketelitian dan evaluasi manual tetap dibutuhkan, agar AI benar-benar menjadi alat bantu yang memperkuat proses, bukan sebaliknya.
Tantangan lain yang tak kalah penting adalah risiko ketergantungan. Ketika mahasiswa terbiasa menggunakan AI untuk menyelesaikan setiap masalah, mereka bisa kehilangan kepercayaan diri dalam kemampuan berpikir dan menganalisis secara mandiri. Padahal, dunia kerja nanti menuntut lebih dari sekadar kemampuan menggunakan alat—yang utama adalah kemampuan menyusun solusi berdasarkan pemahaman yang mendalam.
AI dalam Konteks Akademik: Boleh atau Tidak?
Seiring meningkatnya penggunaan AI di kalangan mahasiswa, institusi pendidikan mulai mengambil sikap yang beragam. Sebagian kampus melarang penggunaan AI dalam tugas-tugas akademik karena dinilai dapat mengaburkan proses belajar yang seharusnya bersifat mandiri. Sementara itu, sebagian lainnya mengambil pendekatan moderat dengan membolehkan penggunaan AI selama penggunaannya dicantumkan secara eksplisit dan tidak menghilangkan proses berpikir kritis mahasiswa itu sendiri.
Di satu sisi, AI bisa dianalogikan seperti kalkulator dalam pelajaran matematika. Ia membantu mempercepat pekerjaan, tetapi tidak seharusnya digunakan sebelum pemahaman dasar terbentuk. Dalam konteks ini, AI dapat dimanfaatkan untuk memperjelas konsep, memberikan umpan balik awal terhadap kode, atau bahkan memicu eksplorasi lebih lanjut. Namun, jika AI digunakan secara penuh untuk menyelesaikan tugas tanpa pemahaman, maka nilai edukatif dari tugas tersebut menjadi hilang.
Beberapa dosen mulai menyadari potensi manfaat AI sebagai alat bantu belajar. Misalnya, ChatGPT dapat digunakan untuk memberikan penjelasan alternatif ketika mahasiswa kesulitan memahami penjelasan dari dosen atau buku teks. Namun, tantangan utama tetap terletak pada integritas pengguna. Tanpa pengawasan dan kesadaran, AI dapat menjadi alat yang mengarahkan mahasiswa pada praktik akademik yang tidak sehat.
Oleh karena itu, perlu adanya literasi digital dan etika penggunaan teknologi sejak dini. Mahasiswa harus dibekali pemahaman bahwa AI bukan alat untuk “mencontek modern”, melainkan sebagai media bantu yang harus digunakan secara bertanggung jawab, proporsional, dan dengan tetap menghargai proses belajar yang sesungguhnya.
Kesimpulan
AI telah membawa perubahan besar dalam cara mahasiswa IT belajar dan mengembangkan perangkat lunak. Kehadirannya menawarkan kecepatan, kemudahan, dan efisiensi yang luar biasa. Namun, kemudahan tersebut tidak boleh menjadikan mahasiswa kehilangan kemampuan dasar yang sejatinya penting dalam dunia IT: logika berpikir, kreativitas, dan kepekaan terhadap solusi yang efektif.
Penggunaan AI seharusnya dimaknai sebagai alat bantu yang memperkuat proses pembelajaran, bukan sebagai jalan pintas untuk menghindari proses berpikir. Mahasiswa perlu membangun kesadaran bahwa hasil yang baik bukan hanya tentang seberapa cepat sebuah kode diselesaikan, tetapi seberapa dalam ia dipahami dan mampu dikembangkan secara mandiri.
Dengan sikap bijak, kritis, dan bertanggung jawab, mahasiswa IT dapat menjadikan AI sebagai mitra belajar yang produktif. AI bukan musuh pembelajaran, tetapi juga bukan pengganti perjuangan. Pada akhirnya, kualitas seseorang di bidang teknologi ditentukan bukan oleh seberapa banyak ia menggunakan alat bantu, melainkan sejauh mana ia memahami, menguasai, dan menciptakan solusi dari pengetahuannya sendiri.