Nama : Aditya Febriyanto Utomo
Institusi : Universitas Pamulang
Prodi : Teknik Elektro
Dalam dunia pertambangan, ukuran adalah segalanya. Bukan hanya tentang seberapa besar deposit mineral di perut bumi, tapi juga seberapa banyak material yang berhasil dipindahkan—dan diukur—setiap harinya. Di titik inilah, pengukuran volume muatan truk menjadi urat nadi produktivitas. Sayangnya, di banyak lokasi tambang di Indonesia, metode konvensional masih dominan: mengandalkan tebakan visual, asumsi kapasitas bak truk, atau bahkan timbangan yang tidak selalu tepat. Padahal, ada teknologi yang bisa mengubah permainan ini secara radikal.
Bayangkan jika truk tambang bisa diukur muatannya secara otomatis, tanpa perlu berhenti. Tanpa perlu supir turun. Tanpa margin of error yang membesar di tengah hujan atau medan ekstrem. Inilah yang ditawarkan sistem seperti LaseTVM-3D-M, sebuah terobosan yang menggunakan dua laser scanner 2D dan perangkat lunak cerdas untuk mengukur volume muatan secara dinamis.
Sistem ini bekerja dengan prinsip sederhana tapi canggih: satu scanner memindai profil samping muatan, sementara scanner lainnya mengikuti gerak truk. Kombinasi data dari dua pemindaian—saat kosong dan saat penuh—memberikan angka pasti soal volume muatan. Tidak ada lagi perkiraan. Hanya fakta.
Dan di sinilah teknik elektro berperan strategis dalam konteks pertambangan. Kita bicara soal sensor, pemrosesan data, penggabungan perangkat lunak dengan perangkat keras, bahkan integrasi dengan teknologi RFID dan kamera OCR untuk pelacakan truk. Ini bukan lagi sekadar alat ukur; ini adalah sistem otomasi industri yang membawa akuntabilitas dan efisiensi ke level berikutnya.
Apakah kita siap menerima teknologi ini di tambang-tambang Indonesia?
Jawabannya tidak hanya soal kesiapan teknis, tapi juga keberanian untuk berubah. Dalam banyak kasus, teknologi seperti ini terganjal oleh kultur operasional yang kaku atau kekhawatiran akan biaya investasi awal. Tapi jika kita jujur menghitung kerugian akibat data muatan yang tidak akurat—dari hilangnya material, pemborosan bahan bakar, hingga laporan produksi yang bias—biaya teknologi ini bisa jadi jauh lebih murah dibanding dampaknya.
Lebih dari itu, sistem ini juga membuka peluang baru bagi integrasi lintas disiplin. Mahasiswa teknik elektro seharusnya tak lagi terpaku pada panel listrik atau perhitungan arus, tapi juga belajar memahami alur kerja industri seperti pertambangan. Begitu pula sebaliknya, lulusan teknik pertambangan harus akrab dengan dasar otomasi dan sistem pengukuran berbasis sensor.
Revolusi industri bukan hanya tentang pabrik pintar atau robot di lantai produksi. Di tambang yang jauh dari pusat kota, di jalanan berdebu tempat truk-truk berat melintas setiap hari—di sanalah teknologi harus membuktikan dirinya paling nyata.
Dan kita harus memastikan, teknologi itu datang dari kita sendiri.