Merajut Kebhinekaan: Penyuluhan Toleransi Beragama di Kalangan Generasi Muda

Jakarta, 2025 — Dalam upaya menanamkan nilai-nilai kebangsaan dan memperkuat kerukunan umat beragama, sekelompok mahasiswa dari Universitas Gunadarma melaksanakan kegiatan penyuluhan bertajuk “Merajut Kebhinekaan, Memperkuat Toleransi Beragama di Kalangan Generasi Muda”. Kegiatan ini dilaksanakan di lingkungan Organisasi Pemuda Masjid YOUMAN MJBJ, Bintaro, Jakarta Selatan, dan menyasar generasi muda sebagai peserta utama.

Kegiatan ini diinisiasi oleh Kelompok 7 mahasiswa dengan latar belakang akademik yang kuat dalam bidang Pendidikan Agama Islam. Mereka adalah Djosiya Wahyudianto, Doni Kuncoro, Juan Nickel Pasya, Muhammad Abdan Syakuron, Trimurti Muhammad Najib, dan Syaif Zaedan Azis. Tujuan utama kegiatan ini adalah membangun kesadaran dan pemahaman yang lebih dalam mengenai pentingnya toleransi antarumat beragama, khususnya di kalangan pelajar dan mahasiswa.

Indonesia dikenal sebagai negara dengan keberagaman luar biasa dalam hal suku, bahasa, budaya, dan agama. Namun, keberagaman ini juga menyimpan potensi konflik apabila tidak disertai dengan pemahaman yang kuat akan nilai-nilai toleransi. Munculnya isu intoleransi, penyebaran hoaks SARA, hingga radikalisme menjadi tantangan nyata yang dihadapi masyarakat saat ini, terutama oleh generasi muda yang sangat terpapar media sosial dan informasi digital.

Penyuluhan ini dirancang untuk menjawab kebutuhan mendesak tersebut. Dengan memberikan ruang edukasi dan dialog, generasi muda diajak memahami konsep toleransi dari perspektif agama, sosial, dan hukum. Lebih jauh, mereka dibekali keterampilan dalam berdialog dan menyikapi perbedaan secara bijak.

Kegiatan penyuluhan ini disusun dalam tiga tahap utama: persiapan, pelaksanaan, dan evaluasi. Pada tahap persiapan, panitia melakukan pembentukan struktur organisasi kerja, penyusunan materi, serta melakukan survei awal untuk mengukur pemahaman peserta sebelum mengikuti kegiatan. Materi penyuluhan disusun dengan pendekatan interdisipliner, mencakup aspek teologis, sosiologis, hingga studi kasus dari realitas masyarakat Indonesia.

Pada tahap pelaksanaan, kegiatan dibagi dalam dua sesi utama. Sesi pertama adalah pemaparan materi dengan tajuk “Kunci Kebersamaan di Tengah Keberagaman”, di mana peserta dikenalkan pada pentingnya toleransi dari sudut pandang Islam dan konteks keindonesiaan. Sesi kedua berupa diskusi kelompok terpumpun atau Focus Group Discussion (FGD), di mana peserta mendiskusikan studi kasus nyata mengenai konflik dan rekonsiliasi antarumat beragama di Indonesia.

Salah satu pendekatan menarik yang digunakan adalah simulasi dialog antaragama. Peserta diminta untuk memerankan tokoh dari latar belakang berbeda dan mencari titik temu melalui komunikasi empatik. Simulasi ini bertujuan menanamkan nilai-nilai empati, kesetaraan, dan keterbukaan.

Secara teoritis, kegiatan ini mengacu pada pemikiran tokoh-tokoh besar seperti Michael Walzer dan Abdurrahman Wahid. Walzer menekankan bahwa toleransi bukan sekadar membiarkan perbedaan, tetapi sebuah kebajikan aktif yang mendorong penghargaan terhadap keragaman. Sementara Gus Dur melihat toleransi sebagai bentuk keterlibatan aktif dalam memahami dan menghargai pihak lain tanpa mengorbankan keyakinan pribadi.

Pendekatan yang digunakan dalam kegiatan ini adalah perpaduan antara pendekatan edukatif dan partisipatif. Dalam pendekatan edukatif, peserta dibekali dengan pengetahuan dasar mengenai toleransi. Sementara pendekatan partisipatif mengajak peserta untuk menjadi aktor aktif dalam proses belajar, melalui diskusi, role-play, dan refleksi pengalaman pribadi.

Dari hasil evaluasi menggunakan instrumen pre-test dan post-test, ditemukan adanya peningkatan pemahaman peserta terkait konsep toleransi, pengelolaan perbedaan, dan kemampuan berdialog. Peserta juga menunjukkan perubahan sikap, yang tercermin dari refleksi mereka di akhir kegiatan.

Selain peningkatan kognitif dan sikap, kegiatan ini juga memperkuat jejaring antarorganisasi pemuda lintas iman. Panitia berencana menjadikan kegiatan ini sebagai proyek berkelanjutan yang bisa direplikasi di lokasi dan komunitas lain.

Salah satu materi penting yang disampaikan adalah kisah keberhasilan dialog antaragama di Maluku pasca konflik sosial. Lewat inisiatif “Pela Gandong”, masyarakat Muslim dan Kristen di Maluku berhasil membangun rekonsiliasi yang berakar pada budaya lokal. Ini menjadi inspirasi kuat bahwa harmoni bisa dibangun bila didasari niat tulus dan pendekatan berbasis kearifan lokal.

Kegiatan penyuluhan “Merajut Kebhinekaan” membuktikan bahwa generasi muda Indonesia memiliki potensi besar sebagai agen perdamaian. Dengan pembekalan nilai-nilai toleransi dan kemampuan berdialog, mereka dapat menjadi garda terdepan dalam menjaga keutuhan bangsa yang majemuk.

Dalam konteks global yang semakin terpolarisasi, upaya lokal seperti ini menjadi sangat berarti. Ia menunjukkan bahwa perdamaian bukan sekadar wacana, tetapi bisa dimulai dari ruang-ruang kecil di masyarakat.

Diharapkan kegiatan ini menjadi pemantik bagi lahirnya lebih banyak inisiatif serupa di berbagai daerah di Indonesia, memperkuat fondasi sosial kita dalam membangun masyarakat inklusif dan damai.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Open chat
Media Sembilan
Hallo Kakak!