PENGAKUAN HUKUM INTERNASIONAL DI ERA KONTEMPORER :ANTARA NORMA POLITIK

Oleh : Rosiana Laela Nurul Syahna
Mahasiswi Prodi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Pamulang
Mata Kuliah : Sistem Hukum Internasional
Dosen Pengampu : Bapak Herdi Wisman Jaya S. Pd,. M.H.

PROLOG

Di tengah dinamika global yang semakin kompleks, hukum internasional menghadapi tantangan serius untuk tetap menjadi pedoman universal. Konflik geopolitik, krisis iklim, serta persoalan hak asasi manusia menuntut adanya mekanisme hukum yang lebih konsisten, adil, dan dapat diandalkan. Salah satu isu krusial yang selalu hadir dalam perdebatan adalah pengakuan internasional, sebuah konsep yang tampak sederhana, namun sarat makna politis, moral, dan hukum. Pengakuan bukan hanya soal status formal sebuah negara atau pemerintah, tetapi juga menyangkut akses terhadap legitimasi, perlindungan hak, serta keterlibatan dalam percaturan dunia.

Dalam hukum internasional klasik, pengakuan negara biasanya berlandaskan pada kriteria Montevideo (wilayah, penduduk, pemerintahan, dan kemampuan menjalin hubungan internasional). Namun, praktik kontemporer menunjukkan bahwa kriteria ini sering kali diabaikan demi kepentingan politik. Beberapa entitas yang secara de facto memenuhi kriteria tidak diakui, sementara entitas lain mendapat pengakuan karena alasan geopolitik semata. Situasi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah pengakuan masih berfungsi sebagai norma hukum ataukah telah berubah menjadi instrumen politik?

Seperti ditegaskan oleh akademisi Gëzim Visoka (2022), pengakuan internasional kini semakin dipengaruhi oleh dinamika politik global, sehingga status kenegaraan tidak lagi sepenuhnya bergantung pada pemenuhan kriteria objektif, melainkan juga pada legitimasi yang diberikan aktor-aktor kuat.

Inkonsistensi dalam praktik pengakuan dapat melemahkan legitimasi tatanan hukum internasional. Negara-negara sering menggunakan pengakuan sebagai alat tawar- menawar diplomatik, yang pada akhirnya mereduksi hukum menjadi instrumen politik. Jonathan Cole (2025) bahkan mengusulkan adanya “Recognition Rules”, yaitu seperangkat aturan hukum internasional baru yang lebih jelas dan konsisten dalam menentukan pengakuan pemerintah, agar praktik pengakuan tidak lagi bergantung pada kepentingan sempit suatu negara.

Selain soal status, pengakuan juga memiliki dimensi moral dan kemanusiaan. Memberikan pengakuan kepada entitas yang terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia dapat menimbulkan dilema moral dan politik. Dalam konteks ini, pernyataan Sekretaris Jenderal PBB António Guterres (2024) sangat relevan: “The Charter is not optional; it is our foundation.” Dengan kata lain, pengakuan internasional

seharusnya sejalan dengan kewajiban negara untuk menjunjung tinggi Piagam PBB dan norma hak asasi manusia.

Kini, pengakuan dalam hukum internasional tidak hanya relevan untuk negara atau pemerintah, tetapi juga terkait dengan isu-isu transnasional seperti perubahan iklim, migrasi, dan tanggung jawab kolektif. Mantan Presiden Irlandia sekaligus pegiat hak asasi manusia, Mary Robinson (2022), menekankan bahwa climate justice harus menjadi bagian dari hukum internasional agar pengakuan tidak sekadar formalitas, tetapi juga instrumen keadilan global.

Pengakuan hukum internasional ibarat pedang bermata dua: di satu sisi ia memberikan legitimasi, di sisi lain berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan politik. Oleh karena itu, reformasi dalam praktik pengakuan menjadi mendesak:

1.   Menetapkan pedoman yang konsisten di bawah PBB.

2.   Mengaitkan pengakuan dengan kepatuhan terhadap norma hak asasi manusia.

3.   Memperluas cakupan pengakuan ke arah tanggung jawab kolektif global, terutama menghadapi krisis iklim dan keamanan lintas-batas.

Dengan demikian, pengakuan dapat kembali pada esensinya: bukan sekadar alat legitimasi politik, melainkan instrumen untuk menegakkan keadilan, perdamaian, dan keteraturan dunia internasional.

Kutipan Tokoh

1.   António Guterres (2024): “The Charter is not optional; it is our foundation.”

2.   Gëzim Visoka (2022): Pengakuan negara semakin dipengaruhi oleh politik global, bukan hanya norma hukum.

3.   Jonathan Cole (2025): Menawarkan gagasan Recognition Rules untuk mengatasi inkonsistensi pengakuan pemerintah.

4.   Mary Robinson (2022): Climate justice is key to addressing the climate crisis.”

Daftar Pustaka (2020–2025)

1.   Cole, J. (2025). Recognition Rules: The Case for a New International Law of

Government Recognition. NYU Law Review.

2.   Guterres, A. (2024, September 24). Secretary-General’s remarks at the Opening of the General Debate of the 79th Session of the General Assembly. United Nations.

3.   Robinson, M. (2022, June 9). Climate justice is key to addressing the climate crisis. The Elders.

4.   Visoka, G. (2022). Statehood and Recognition in World Politics. Journal Article.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Open chat
Media Sembilan
Hallo Kakak!